Kilometer Nol Indonesia: Memandang Keindahan Samudra Hindia

Kilometer Nol Indonesia: Memandang Keindahan Samudra Hindia
Kilometer Nol Indonesia: Memandang Keindahan Samudra Hindia

Monumen Kilometer Nol Indonesia berada di Desa Iboih, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Provinsi Aceh.  Salah satu mimpi saya adalah menjelajah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sejak masih di bangku Sekolah Menengah Pertama sampai Madrasah Aliyah , saya ingin sekali ke provinsi ini karena terinspirasi dari sebuah lagu wajib nasional “Dari Sabang Sampai Merauke” ciptaan R. Suharjo.

“Bro, Jalan-jalan yok” pesan masuk ke WhatsApp dari seorang kawan asal Kalimantan. Ketika itu saya sedang di depan kos bersama teman-teman.

“Jalan-jalan kemana? Saya ngak punya uang bro” Jawabku secara singkat

“Nanti semua biaya saya yang tanggung, temani saya untuk keliling sumatera selama 2 pekan. Segera beli tiket pesawat untuk 2 orang” balas kawan saya. Dalam hati, rasa syukur tak terhingga kepada Sang Pencipta.

Mimpi untuk melihat salah satu dari ujung Indonesia bagian Barat Indonesia dan kesempatan untuk menyambangi provinsi yang dijuluki Serambi Mekah ini berhasil terwujud. Banda Aceh yang terletak di ujung barat Pulau Sumatera satu ini menyimpan banyak pesona yang indah dan menarik untuk para wisatawan.

Perlu diketahui, tiket pesawat menuju Aceh terbilang cukup mahal. Untuk mensiasatinya cukup dengan 2 trik. Cara pertama adalah dengan membeli tiket pesawat menuju Medan, kemudian bisa melanjutkan perjalanan melewati jalur darat dengan menggunakan bus menuju Aceh. Cara kedua adalah dengan memberli tiket menuju Kuala Lumpur, kemudian melanjutkan penerbangan menuju Aceh. Bisa dapat lebih murah, apalagi kalau ada promo tetapi waktu transitnya terkadang terlalu lama.

Kami pakai cara yang paling mudah, yaitu dengan membeli tiket airline full service yang punya penerbangan langsung dari Jakarta-Banda Aceh.

Awal Perjalanan Menjelajahi Aceh

Banda Aceh adalah kota yang terus berbenah setelah bencana alam Tsunami 24 Desember 2004 silam yang membuat kota ini hampir tak berbekas. Aceh sekarang sudah punya bus terintegrasi seperti TransJakarta, namanya Trans Koetaradja. Bahkan dari bandara sampai ke tengah kota, bus ini sudah tersedia secara gratis untuk umum.

Kita harus keluar bandara dan berjalan kaki beberapa ratus meter untuk menuju halte, supaya tak terlalu menggeser pasar para taksi dan rental mobil. Lumayan kami bisa menghemat ongkos taksi bandara seharga 100 ribu rupiah untuk sampai di tengah kota.

Singgahan pertama kami adalah Masjid Raya Baiturrahman. Kebetulan sekali halte Trans Koetaradja tepat berada di depan pintu gerbang masjid megah ini. Aceh adalah kota yang mayoritas warganya adalah Muslim. Syariat Islam ditegakkan dengan kuat di wilayah ini.

Saya kagum dengan keindahan arsitektur Masjid Raya Baiturrahman yang dibangun pada abad ke-16 ini. Masjid ini sebagai saksi sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan para penjajah. Beberapa kali, masjid ini dicoba dihancurkan dan dibangun kembali. Namun saat ini, masjid megah dan indah ini tetap berdiri tegap sebagai salah satu masjid kebanggaan Indonesia.

Masjid cantik dan megahnya bahkan menyerupai masjid Nabawi di Madinah. Lantai masjid terbuat dari marmer yang dipesan khusus dari Italia langsung. Bangunan yang mirip Taj Mahal di India menjadi titik segala kegiatan di Badan Aceh.

Perjalanan Menuju Museum Tsunami

Tidaj jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, kami beranjak menuju Museum Tsunami. Cukup dekat, hanya sekitar 10 sampai 15 berjalan kaki. Bangunan museum berlokasi di Jalan Iskandar Muda bergaya rumah panggung. Museum dengan struktur 4 lantai yang dinding lengkungnya ditutupi relief geometris.

Ketika memasuki museum, saya harus melalui lorong sempit dan gelap di antara dua dinding air yang tinggi. Ketika melewati lorong museum, bulu kuduk saya merinding!. Suara menggema muncul secara samar, lama-kelamaan menjadi sebuah lantunan kalimat tauhid. Desain ruang ini bertujuan untuk mengingatkan kembali suasana dan kepanikan saat terjadi tsunami.

Sebelum menyeberang ke Sabang, malamnya kami menyempatkan untuk menikmati sebuah kopi tepat di depan Masjid Raya Baiturrahman. Aceh di kenal dengan julukan “kota seribu satu warung kopi”. Sepanjang jalan, kami menemukan banyak warung kopi, baik tradisional sampai yang buka 24 jam plus wi-fi.

Kopi yang disajikan adalah kopi Robusta, jenis kopi kesukaan saya yang rasanya tak terlalu asam. Kopi ini cocok dinikmati saat oleh siapa saja. Sambil menikmati kopi, kami merencanakan perjalanan selanjutnya menuju Kilometer Nol Indonesia pagi hari.

Perjalanan ke Sabang

Pagi hari, kami pun beranjak menuju ke Pelabuhan Ulee Lheue untuk menyeberang menuju Sabang. Terdapat 2 pilihan akomodasi beruapa kapal cepat dan lambat. Kapal cepat, hanya memakan waktu 45 menit dengan biaya 100 ribu rupiah (kelas VIP) dan kapal lambat atau feri dengan harga 25 ribu rupiah per penumpang.

Kami memilih menggunakan kapal cepat karena keterbatasan waktu. Pada waktu itu, angin sangat bersahabat dan kami menikmati perjalanannya. Sesampainya di Pulau Weh, kami langsung menyewa sepeda motor dengan tarif 100 ribu rupiah untuk digunakan 24 jam dengan jaminan hanya ktp saja.

Dengan adanya jasa sewa, kalian jangan khawatir masalah transportasi. Menurut saya, ini adalah cara yang paling efektif untuk menjelajahi Sabang. Dari pelabuhan Balohan menuju penginapan di pantai Iboih sekitar 27 km atau sekitar 50 menit menggunakan sepeda motor. Dari penginapan kami di Iboih menuju ke Kilometer Nol Indonesia hanya sekitar delapan kilometer saja.

Jalan menuju sabang terbilang bagus, saya belum menemukan kerusakan aspal yang berarti kenyamanan itulah yang membuat kami bisa melaju dengan kecepatan 60 kilometer per jam tanpa henti. Banyak pemadangan yang sangat indah untuk disaksikan apabila ingin santai sejenak. Nah, di sabang ini banyak wisatawan dari mancanegara, karena ada spot untuk snorkeling dan diving.

Di Pulau Weh, suasananya sangat santai dan indah sekali. Bukan cuma itu, udara segar bebas polusi, dan pantai-pantainya bagus. Cocok banget untuk tempat melepas penat. Tak banyak yang kami lakukan di sini selain duduk bersantai di penginapan saya yang menghadap ke laut.

Tak sampai sepuluh menit memacu motor dari Pantai Iboih, saya sudah berada di titik nol kilometer Indonesia. Tempatnya berada di atas tebing. Konturnya mirip seperti tebing Uluwatu di Bali. Kami bertemu orang dari berbagai penjuru Indonesia yang sedang menikmati liburan di Kilometer Nol Indonesia.

Samudra Hindia

Kami menelusuri sebuah perbatasan antara Sabang dengan Samudra Hindia. Pemandangan sangat indah, menjelajah batas samudra. Jangan khawatir, disini banyak spot berfoto berbentuk anak tangga dengan background laut sangat luas.

Setelah puas dengan keajaiban titik Nol Kilometer Indonesia, kami bergegas balik menuju tempat penginapan bersama kawan asli Aceh. Kami melanjutkan perjalanan menuju ke Pulau Rubiah, tempat untuk snorkeling. Sangat indah kawan!! Setelah puas snorkeling, kami pun kembali ke penginapan untuk beristirahat dan persiapan barang agar tidak ketinggalan kapalnya karena sore harus kembali lagi ke Banda Aceh.

Kami berjanji untuk datang kembali ke kota Serambi Mekah ini. Semoga titik Kilometer Nol Indonesia ini menjadi titik awal saya untuk memulai perjalanan-perjalanan lainnya di masa mendatang.

Post a Comment

0 Comments